Selasa, 23 Agustus 2016
seniman keroncong terkenal di kota solo
Percaya atau tidak, masyarakat Internasional[khususnya Jepang], ternyata lebih soal
Gesang, dibanding masayrakat Indonesia sendiri.Apalagi kalau ditanya kepada sebagian generasi MTV sekarang, bisa-bisa malah bingung. Tapi kalau ditanya karya ciptanya,terutama Bengawan Solo, mungkin masih banyak yang tahu.
Nasib pria bertubuh kurus ini memang unik. Pria
yang nyaris masuk ke umur 90 tahun ini, pernah "nyaris" dilupakan
oleh tanah kelahirannya sendiri. Padahal seharusnya, lewat lagu-lagu
ciptaannya, Gesang berhak mendapat royalty yang cukup untuk hari
tuanya.
Nama aslinya Gesang Martohartono, asli Solo. Usianya sekarang
menginjak 88 tahun.Percaya atau tidak, ketika usianya 85 tahun,
dia masih mampu merekam suaranya. Rekaman bertajuk Keroncong Asli
Gesang itu diproduksi PT Gema Nada Pertiwi (GMP) Jakarta, September
2002.
Sudah empat kali PT GMP memproduksi album khusus Gesang, yaitu
pada 1982, 1988, 1999, dan 2002. Dari 14 lagu dalam rekaman
compact disk (CD), enam di antaranya merupakan lagu yang belum
pernah direkam. Yaitu Seto Ohashi (1988), Tembok Besar (1963),
Borobudur (1965), Urung (1970), Pandanwangi (1949), dan Swasana
Desa (1939). Selebihnya lagu-lagu lama karya Gesang, yang temanya
menyinggung usia Gesang yang sudah senja seperti Sebelum Aku Mati,
Pamitan, dan tentu saja Bengawan Solo.
"Terus terang, suara saya jelek. Apalagi saat rekaman itu saya
sedang sakit batuk, sehingga terpaksa diulang-ulang hingga, ya,
lebih lumayan," ungkap Gesang polos. Menurut dia, sebenarnya
aransemen dan iringan musik oleh Orkes Keroncong Bahana itu dia
rasa kurang cocok untuk kondisi vokalnya.
Ada kisah unik di masa kecilnya. Seandainya bocah lelaki bernama
Sutadi tidak menderita sakit-sakitan, bisa jadi jagat musik
Indonesia tak pernah memiliki seorang maestro keroncong yang
karyanya dikenal di berbagai belahan dunia. Dialah Gesang, komponis
kondang lagu "Bengawan Solo".
Barangkali memang sudah suratan takdir. Ayahanda Sutadi yang
bernama Martodihardjo, akhirnya mengganti nama anak lelaki paling
bontot itu dengan Gesang. Sepotong nama yang sangat bermakna,
yakni hidup dan membawa si pemiliknya sampai usia 87 tahun. Selama
itu pula, Gesang mengabdikan hidup di jagat seni musik keroncong
dengan karya-karya bermutu.
Kisah hidup Gesang yang semasa kecilnya berada di lingkungan juragan
batik Kampung Kemlayan, memang hampir selalu didera penyakit panas
menggigil yang nyaris merenggut jiwanya. Namun di usianya yang
kian renta dan sering sakit-sakitan sekarang ini, jiwa seni Gesang
tetap seperti semasa mudanya. Kendati jalannya tertatih-tatih dan
gerakan seniman tua itu juga semakin lamban, dia masih cukup
bergairah jika diundang ke pentas musik keroncong. Postur tubuhnya
yang tetap tegap, juga menyiratkan betapa semangat hidup Gesang
seperti tak pernah surut.
Darah seni yang mengalir di tubuh Gesang, sudah lama menggelegak
sejak masa kanak-anaknya. Bahkan, tatkala anak-anak sebayanya
termasuk kakak kandungnya yang dipanggil Mas Yazid menggemari olah
raga keras seperti sepak bola, Gesang kecil lebih senang
bersenandung, yang dalam bahasa Jawa disebut rengeng-rengeng.
Dari kebiasaan rengeng-rengeng sambil berimajinasi itulah, pada
gilirannya Gesang melahirkan karya-karya lagu berirama keroncong
yang liriknya sederhana namun mengena.
Setiap ulang tahun gesang, selaludiperingati oleh gabungan dari
anggota keluarga Gesang dan Yayasan Peduli Gesang (YPG) dari
Jepang. YGP semula merupakan wadah sejumlah warga Jepang yang
memiliki penghormatan khusus pada Gesang, dan mereka menghimpun
dana untuk membantu kehidupan Gesang. Sebagian dari mereka adalah
orang Jepang yang berusia di atas 80 tahun, karena pada masa
perang dahulu sudah mengagumi lagu Bengawan Solo.
Mereka datang berombongan dari Jepang-asal Tokyo, Pulau Shikoku,
Yokohama-dan tiba sehari sebelumnya. Setiap tahun anggota rombongan
berganti-ganti, dan sebagian anggota tetap. Menurut Ketua
Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Jepang, Okihara Toshio,
sebenarnya banyak warga Jepang yang berniat datang ke Solo, tetapi
terbentur teknis untuk mengumpulkan mereka sehingga hanya terkumpul
26 orang.
Bayangkan. Mereka menempuh jarak ribuan kilometer hanya untuk
mengucapkan selamat ulang tahun kepada Gesang. Selain mesti
membeli tiket pesawat terbang pergi-pulang dan mengeluarkan biaya
akomodasi, mereka juga membawa cenderamata buat Gesang. Dari amplop
berisi uang yen hinga lukisan. Bahkan ada yang sengaja datang ke
Solo untuk bisa bernyanyi (bermain piano) bersama Gesang. Ada juga
yang menari. Ketua Yayasan Peduli Gesang adalah Ny Yokoyama Kazue
(55).
Lagunya yang terkenal memang "Bengawan Solo" yang berlanggam
keroncong. Padahal ada ciptaan lain yang tidak kalah apiknya. Lewat
Bengawan Solo Orang Jepang langsung tahu bila kita menyebutnya.
Terutama bagi mereka yang sudah berusia lanjut, mendengar lagu ini
menimbulkan adanya perasaan nostalgia. Demikianlah, melalui
"Bengawan Solo" yang digubah, telah tumbuh pertukaran yang
bersejarah antar rakyat Jepang dan Indonesia.
"Bengawan Solo" masuk ke Jepang untuk pertama kali sekitar setengah
abad yang lalu di kala masa perang. Pada waktu tentara Jepang
mendarat di Pulau Jawa, lagu itulah yang dari radio terdengar
secara luas di kalangan serdadu Jepang serta orang-orang Jepang
yang berada di sini.
Seusai perang, berkat para tentara Jepang dan orang-orang perusahaan
dagang Jepang yang pulang kembali ke negerinya, lagu tersebut kerap
terpelihara eksistensinya, bahkan "Bengawan Solo" dengan syair dalam
bahasa Jepang menjadi sangat populer. Konon orang orang di Jawa
yang mendengar lagu itu merasakan ketenangan hati serta nostalgia,
mengingatkan mereka akan masa mudanya karena melodi lagu serupa
dengan lagu rakyat Jepang.
Salah pengertian bahwa "Bengawan Solo" merupakan lagu rakyat yang
komponisnya tidak dikenal, berlangsung cukup lama. Akan tetapi ada
orang-orang Jepang yang berdaya upaya bagi terjalinnya pertukaran
antar rakyat biasa dengan Indonesia, mereka mencari melodi-melodi
indah dari negeri-negeri lain dan membantu para komponis yang
terlupakan.
Setelah mencari dan melacak keberadaan penggubahnya, Gesang pada
tahun 1989, dengan dana yang dikumpulkan dari himpunan persahabatan
Jepang-Indonesia di berbagai tempat di Jepang, telah dibentuk Dana
Himpunan Gesang dengan alasan bahwa "Bengawan Solo bersifat Abadi",
bahkan sampai didirikan sebuah monumen patung setengah badan Gesang
di Taman Jeruk, Kota Solo.
Gesang datang pada festival salju Sapporo atas undangan himpunan
persahabatan Sapporo dengan Indonesia pada tahun 1980, untuk
pertama kali. Setelah itu telah berkali-kali datang ke Jepang atas
undangan himpunan persahabatan Jepang. Demikianlah pagelaran
keroncong berlangsung di Jepang untuk pertama kali dengan
membawakan lagu "Bengawan Solo". Melalui Gesang dan musik
keroncong, orang menjadi sadar bahwa musik adalah sesuatu yang
mutlak perlu bagi persahabatan dan perdamaian dunia. Lebih-lebih
lagi, berkat kerendahan hati Pak Gesang; kepribadiannya telah
membawa keakraban dan kehangatan bagi orang Jepang. Berkat
kunjungannya ke Jepang, keroncong telah mengalami boom secara
diam-diam.
Lagu merupakan bahasa umum yang melintasi dunia. "Bengawan Solo"
yang melintasi batas negara, dengan memperkayakan hati manusia
telah menjembatani pertukaran kebudayaan pada akar rumput antara
Jepang dan Indonesia.
Gesang Pertama kali menggubah lagu adalah pada tahun 1934. Ketika
usianya belum genap 20 tahun, Gesang telah menghasilkan lagu yang
dia beri judul "Si Piatu". Sebuah lagu yang diilhami kisah
hidupnya, karena sejak usia lima tahun dia telah ditinggal ibundanya
Sumidah, yang diibaratkannya bagai putri rembulan.
Setelah 14 tahun hidup bersama ibu tirinya, Sumirah, Gesang muda
yang sejak awal bergabung dengan grup musik keroncong "Marko",
melantunkan lagu "Si Piatu" lewat Radio SRV (Solosche Radio
Vereeniging). Lantunan lagu karyanya sendiri itu menjadi tonggak
kesenimanan Gesang sebagai seorang komponis yang karyanya mendapat
pengakuan dunia.
Dalam meniti perjalanan berkesenian musik keroncong, Gesang memang
lebih banyak sebagai penyanyi. Dia sering menyatakan dirinya bukan
seorang musisi, karena memang tidak terampil memainkan alat musik.
Kalaupun dia demikian piawai mencipta lagu, itu hanya sebatas
dengan bantuan alat musik sederhana, seperti seruling atau gitar
akustik. Itu sebabnya, nada-nada lagu ciptaan Gesang yang puitis
hampir selalu terkesan bersahaja, sesederhana dan sepolos lirik-
lirik lagunya. Simak saja sebait lirik lagu ciptaan pertamanya
"Si Piatu", seperti yang tertera di awal tulisan ini. Gesang
mengungkapkannya dengan bahasa sederhana, tapi penuh makna.
Sebagai seorang komponis lagu-lagu keroncong dengan karya bermutu
tinggi, Gesang tidak tergolong sebagai pencipta yang produktif.
Selama tahun 1938, Gesang tercatat hanya menghasilkan lagu
”Si Piatu". Dalam buku biografi Gesang Mengalir Sampai Jauh yang
diterbitkan Balai Pustaka (1999), selama tahun 1939 Gesang juga
hanya berhasil menggubah dua lagu berjudul "Roda Dunia" dan
"Suasana Desa". Lagu "Bengawan Solo" yang legendaris itu, juga
merupakan lagu satu-satunya yang dia ciptakan pada tahun 1940.
Sepanjang 87 tahun usianya, Gesang hanya mampu menghasilkan tidak
lebih dari 42 karya, terdiri dari lagu-lagu berirama keroncong
asli maupun langgam, termasuk sejumlah langgam Jawa. Selain lagu
"Bengawan Solo", tercatat lagu-lagu berjudul "Kr. Jembatan Merah",
jangan lpa mampir ke blog tman saya
seniman keroncong terkenal di kota solo
top artis sipa 2016 di solo
ini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar